Minggu, 02 September 2007

BAHASA SEBAGAI PEREKAT PERSATUAN BANGSA


Bulan Oktober merupakan bulan yang bersejarah bagi kita, bangsa Indonesia. Hampir setiap orang mengetahui bahwa pada bulan ini kita tengah memperingati peristiwa yang amat penting dalam sejarah bangsa kita, yaitu peristiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa itu mempunyai kaitan yang amat erat dengan masalah persatuan bangsa kita.

Seperti yang telah kita ketahui, dalam peristiwa yang terjadi 79 tahun yang lalu itu--tepatnya tanggal 28 Oktober 1928--para pemuda Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa telah menyatakan kebulatan tekad untuk bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ketiga ikrar yang menjadi tekad para pemuda Indonesia pada masa itu--yang kemudian dikenal dengan nama Sumpah Pemuda--merupakan tonggak sejarah yang amat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia.

Jika dikaitkan dengan masalah persatuan bangsa, peristiwa tersebut tentu masih sangat relevan. Hal itu karena sebelum peristiwa Sumpah Pemuda terjadi, dapat dikatakan bahwa para pemuda yang berasal dari berbagai suku bangsa--yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan pemuda seperti Young Java, Young Celebes, Young Sumatra, dan Pemuda Batavia--sebenarnya belum seia-sekata dalam memperjuangkan kepentingan bangsa. Meskipun demikian, para pemuda itu pada dasarnya mempunyai cita-cita dan visi yang sama, yaitu memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Atas dasar itu, untuk mempersatukan kelompok-kelompok pemuda tersebut, disepakatilah tiga hal yang kemudian diikrarkan dalam Sumpah Pemuda. Ketiga hal yang dimaksud berkenaan dengan masalah tanah air, bangsa, dan bahasa.

Mereka--para pemuda itu--sadar bahwa untuk membentuk negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat, diperlukan adanya tanah air sebagai wilayah kekuasaan dan bangsa sebagai penduduk (masyarakat) yang mengdiami wilayah itu. Namun, dengan tanah air dan bangsa saja dianggap tidak cukup karena masyarakat atau bangsa yang mendiami tanah air itu perlu bersatu padu, bekerja sama, dan bertukar pendapat atau bermusyawarah guna merencanakan masa depan bangsa. Untuk itu, diperlukan satu syarat lagi, yaitu bahasa sebagai alat komunikasinya.

Bahasa memang merupakan salah satu unsur utama dalam kehidupan suatu bangsa. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang wajar jika keberadaan bahasa disejajarkan dengan tanah air dan bangsa sebagaimana yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda. Dalam konteks semacam itu, keberadaan bahasa menjadi tali pengikat kebersamaan yang amat penting bagi kehidupan bangsa. Pengertian kebersamaan di sini tidak hanya mencakup bersama dalam memajukan bangsa, tetapi juga bersatu dalam kebersamaan itu. Itulah esensi dicantumkannya bahasa sebagai salah satu butir dalam Sumpah Pemuda.

Kalau dikaitkan dengan kondisi sekarang, apakah makna semacam itu masih ada relevansinya? Tentu saja ada. Kita telah melihat buktinya bahwa sejak bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa nasional dengan nama bahasa Indonesia, masyarakat kita yang berasal dari berbagai suku bangsa dapat bersatu padu, bekerja sama, dan saling memahami berkat kesamaan sarana komunikasi yang berupa bahasa Indonesia.

Kebersamaan dalam persatuan semacam itu menjadi sangat penting artinya jika kita kaitkan dengan kondisi kesatuan bangsa kita saat ini yang cukup memprihatinkan. Indikatornya dapat kita lihat, misalnya, dengan adanya ikatan-ikatan rasa kebersamaan dan rasa persatuan kita sebagai bangsa yang mulai mengendor. Ada berbagai isu yang menyebabkan semangat kebangsaan dan semangat persatuan kita itu mengendor: mulai dari isu keagamaan sampai dengan isu kesukuan, bahkan ditambah pula dengan isu gender atau jenis kelamin. Dalam kondisi seperti itu, yang perlu kita lakukan adalah dengan mengeliminasi isu-isu yang berpotensi menimbulkan konflik. Caranya, antara lain, dapat dilakukan dengan membangun kembali semangat kebangsaan kita melalui pendekatan yang lebih netral.

Tampaknya saat ini memang sudah waktunya kita memikirkan pendekatan baru untuk membangun kembali semangat kebangsaan kita. Hal itu karena pendekatan yang selama ini diterapkan, yaitu dengan memanfaatkan kesamaan agama dan suku bangsa sebagai identitas kebangsaan, terbukti tidak efektif. Di beberapa negara lain pun pendekatan itu telah dicoba, tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

Dalam masyarakat yang memiliki derajat kemajemukan yang tinggi seperti di Indonesia, semangat kebangsaan, juga semangat persatuan dan kesatuan, menjadi masalah yang sangat penting. Apalagi, kemajemukan yang ditandai dengan keragaman budaya, agama, dan bahasa daerah itu berbaur dengan keragaman suku bangsa dalam satu wadah negara. Oleh karena itu, agar kemajemukan itu tidak saling bersinggungan sehingga berpotensi menimbulkan konflik, perlu dipikirkan adanya kesamaan identitas kebangsaan yang dapat mengikat kemajemukan itu menjadi satu kesatuan. Dalam hal inilah sebenarnya bahasa dapat menjadi kunci yang amat penting, yaitu sebagai perekat persatuan.

Jika dibandingkan dengan kesamaan identitas yang lain, seperti agama dan suku bangsa, kesamaan bahasa relatif lebih netral dan jauh dari potensi konflik terbuka. Dari sifat kenetralan itu pulalah, 71 tahun yang lalu para perintis kemerdekaan kita bersepakat untuk mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Kesepakatan itu merupakan keputusan politis yang dilandasi oleh kesadaran bahwa bahasa nasional dapat berfungsi sebagai lambang identitas kebangsaan yang dapat mengikat berbagai etnis dan keragaman lain ke dalam satu kesatuan bangsa. Dengan demikian, bahasa nasional itu selain dapat menjadi sarana komunikasi dalam kemajemukan, juga dapat berfungsi sebagai sarana pemersatu bangsa.

Pilihan terhadap bahasa nasional sebagai upaya untuk membangun kembali semangat kebangsaan kita tampaknya memang merupakan pilihan yang relatif paling aman. Hal itu karena selama ini hampir tidak pernah terjadi konflik di antara suku-suku bangsa yang ada mengenai persoalan bahasa. Kecuali itu, pilihan terhadap bahasa nasional juga dapat mengeliminasi terjadinya konflik yang bersumber pada masalah keagamaan dan kesukuan, serta dapat membangun jalur komunikasi antarsuku, dan sekaligus meletakkan dasar bagi terciptanya budaya nasional yang mampu menampung aspirasi dari berbagai suku yang ada. Oleh karena itu, bahasa nasional atau bahasa Indonesia dipandang dapat menjadi sarana perekat kebangsaan kita sehingga penanganannya pun perlu lebih serius agar menjadi lebih efektif.

Salah satu bentuk penanganan itu dapat berupa pengefektifan kembali pemasyarakatan bahasa Indonesia ke seluruh lapisan masyarakat agar tidak ada lagi warga negara yang tidak dapat berbahasa Indonesia. Dengan demikian, seluruh suku bangsa dapat berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan bahasa nasional itu. Jika hal itu dapat dilakukan, kita dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya konflik antarsuku yang ditimbulkan oleh sentimen bahasa daerah.

Di samping melalui pemasyarakatan bahasa Indonesia, seluruh masyarakat juga diharapkan menggunakan bahasa nasional itu dalam setiap komunikasi yang melibatkan interaksi antarsuku bangsa. Dengan perkataan lain, dalam interaksi semacam itu penggunaan bahasa daerah perlu dihindari, begitu juga dalam komunikasi di depan umum dan di dalam lingkup kedinasan, lebih-lebih lagi dalam pelayanan umum kepada masyarakat.
Hal lain yang perlu ditambahkan adalah bahwa para tokoh masyarakat, kalangan birokrat, dan para pejabat sebaiknya memelopori penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebagai tokoh anutan masyarakat, keteladanan mereka dalam berbahasa sangat diharapkan karena hal itu akan sangat berpengaruh bagi masyarakat.

Akhirnya, perlu kita sadari bahwa bahasa Indonesia--sebagai bahasa nasional--merupakan lambang identitas kebangsaan yang dapat menjadi perekat persatuan kita sebagai suatu bangsa. Oleh karena itu, agar kita dapat membangun kembali semangat kebersamaan dan semangat kebangsaan kita, marilah kita gunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar demi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa.

oo0oo

Penulis (Mustakim) adalah peneliti masalah kebahasaan
dan dosen bahasa Indonesia

Sabtu, 01 September 2007

Meraih Citra Indonesia Melalui Bahasa

Pengantar
Pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing atau pengajaran BIPA secara politis mempunyai peran yang amat penting dan strategis dalam memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat internasional. Hal itu karena pengajaran BIPA di samping merupakan media untuk menyebarluaskan bahasa Indonesia, juga merupakan media untuk menyampaikan berbagai informasi tentang Indonesia, termasuk memperkenalkan masyarakat dan budaya Indonesia. Dengan demikian, orang asing yang mempelajari bahasa Indonesia akan semakin memahami masyarakat dan budaya Indonesia secara komprehensif. Pemahaman itu pada gilirannya dapat meningkatkan rasa saling pengertian antarbangsa.

Jika dikaitkan dengan meluasnya informasi yang negatif tentang Indonesia di luar negeri, pengajaran BIPA dapat pula berperan dalam upaya ikut serta memulihkan citra Indonesia di dunia internasional.

Seperti kita ketahui, pemberitaan tentang Indonesia melalui media massa asing, terutama sejak peristiwa kekacauan 1998 ditambah dengan isu-isu terorisme dan seringnya terjadi pengeboman di wilayah Indonesia, telah memperburuk citra Indonesia di dunia internasional. Oleh karena itu, melalui pengajaran BIPA, kita berharap dapat menyebarluaskan informasi yang positif tentang Indonesia guna memperbaiki citra yang selama ini kurang baik.

Kondisi yang Dihadapi
Kondisi yang digambarkan itu tentu sangat berpengarah terhadap minat masyarakat internasional untuk mempelajari bahasa Indonesia. Di samping itu, juga ada hal-hal lain yang bermuara pada kondisi negara yang mengajarkan bahasa Indonesia itu sendiri. Dari berbagai laporan, dapat diketahui bahwa kondisi pengajaran BIPA di beberapa negara di luar negeri akhir-akhir ini menunjukkan adanya gejala penurunan, baik dari segi intensitas penyelenggaraannya maupun segi jumlah peminatnya. Penurunan intensitas penyelenggaraan BIPA dan minat orang asing dalam mempelajari bahasa Indonesia itu disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor yang berasal dari dalam negerinya sendiri maupun faktor yang muncul dari luar, terutama dari kondisi yang ada di Indonesia.

Gejala penurunan dalam pengajaran BIPA di luar negeri itu tentu harus kita sikapi dengan bijak. Oleh sebab itu, harus kita carikan solusi untuk mengatasi terjadinya kecenderungan tersebut. Untuk itu, kita harus memberikan motivasi, dukungan, dan bantuan terhadap penyelenggaraan pengajaran BIPA di luar negeri. Berbagai potensi harus digali, dimanfaatkan, dan didayagunakan semaksimal mungkin guna mengatasi persoalan tersebut.

Pendayagunaan Potensi
Potensi Indonesia yang dapat didayagunakan untuk kepentingan pengembangan BIPA sebenarnya cukup besar. Misalnya, saat ini telah tersedia media informasi global yang berupa internet dengan daya jangkau ke seluruh penjuru dunia. Media tersebut dengan mudah dapat dimanfaatkan untuk menginformasikan berbagai potensi yang kita miliki kepada masyarakat internasional.

Kemudian, Indonesia juga telah memiliki kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan kantor perwakilan negara yang tersebar di berbagai negara. KBRI—sebagai wakil negara di luar negeri—sudah sepatutnya mempromosikan Indonesia, termasuk mempromosikan potensi wisata dan pengajaran BIPA, kepada masyarakat internasional. Dalam konteks itu, KBRI dapat menyebarkan brosur, majalah, dan buku-buku yang berisi berbagai informasi tentang Indonesia kepada masyarakat internasional bekerja sama dengan lembaga-lembaga pengajar BIPA di luar negeri, tempat KBRI itu berada. Berbagai informasi tersebut dapat pula disediakan di meja resepsionis KBRI untuk dibagikan kepada para tamu yang datang ke KBRI.

Di samping itu, juga sudah tersedia cukup banyak lembaga penyelenggara pengajaran BIPA di luar negeri, baik di perguruan tinggi maupun di lembaga-lembaga kursus. Lembaga-lembaga ini dapat didayagunakan sebagai media untuk menyebarluaskan berbagai informasi tentang Indonesia. Boleh dikatakan bahwa lembaga penyelenggara pengajaran BIPA di luar negeri ini merupakan agen Indonesia yang potensial untuk ikut serta dalam memperkenalkan Indonesia di dunia internasional. Oleh karena itu, sudah sepatutnya KBRI menjalin kerja sama yang lebih erat dengan lembaga tersebut.

Langkah-Langkah yang Perlu Ditempuh
Untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi dalam pengajaran BIPA, ada beberapa langkah yang perlu ditempuh.

Pertama, kita perlu memberikan dukungan kepada lembaga-lembaga pengajar BIPA di luar negeri. Dukungan yang dimaksud dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, misalnya (1) pemberian kemudahan dalam perizinan ke Indonesia, (2) penyediaan bahan-bahan ajar bahasa Indonesia dan bahan-bahan penunjang tentang kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya Indonesia, serta informasi tentang kehidupan masyarakat Indonesia masa kini, (3) pertukaran pelajar, mahasiswa, dan pengajar, (4) pementasan seni budaya Indonesia di lembaga-lembaga penyelenggara pengajaran BIPA, dan (5) pemberian beasiswa kepada pelajar/mahasiswa asing yang akan belajar di Indonesia.

Kedua, peran Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan/atau kantor perwakilan negara di luar negeri dalam penyelenggaraan pengajaran BIPA harus ditingkatkan. Untuk itu, kantor KBRI atau kantor perwakilan RI di negara yang belum ada penyelenggara pengajaran BIPA wajib menyelenggarakan kursus atau pengajaran bahasa Indonesia kepada penutur asing. Di samping itu, mereka juga perlu mendorong dan memfasilitasi lembaga perguruan tinggi di negara tempatnya bertugas agar menyelenggarakan pengajaran BIPA ataupun studi tentang Indonesia. Dengan demikian, akan tersedia tempat bagi masyarakat di negara tersebut yang ingin mempelajari bahasa Indonesia ataupun yang ingin mendalami kajian tentang Indonesia.

Ketiga, percepatan pendirian Pusat Kebudayaan Indonesia di luar negeri. Dengan adanya Pusat Kebudayaan Indonesia, berbagai aktivitas seni budaya Indonesia dapat dipusatkan di pusat kebudayaan itu. Salah satu aktivitas atau kegiatan yang perlu dilakukan di Pusat Kebudayaan Indonesia itu tentu adalah pengajaran bahasa Indonesia kepada orang asing. Di samping itu, Pusat Kebudayaan Indonesia di luar negeri juga dapat berfungsi sebagai pusat informasi mengenai berbagai hal tentang Indonesia. Dengan demikian, pendirian pusat kebudayaan itu sangat penting. Oleh karena itu, patut kita dukung.

Keempat, kita perlu menyediakan informasi kepada berbagai pihak di luar negeri yang ingin mengetahui tentang Indonesia secara lebih jauh. Informasi tersebut perlu disesuaikan dengan kebutuhan orang asing tentang Indonesia. Di samping itu, juga perlu disediakan informasi tentang lembaga-lembaga penyelenggara pengajaran BIPA di KBRI/perwakilan RI untuk memberi kemudahan bagi orang asing di negara tersebut yang ingin belajar BIPA. Di samping itu, bagi mahasiswa yang mempelajari BIPA dan mahasiswa studi Indonesia juga perlu diberi informasi tentang lembaga-lembaga perguruan tinggi di Indonesia yang membuka program BIPA dan jurusan bahasa dan sastra Indonesia, termasuk perguruan tinggi di Indonesia yang menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi di negara tempatnya bertugas. Informasi tersebut diperlukan untuk kemungkinan menjalin kerja sama dalam pertukaran pelajar/mahasiswa serta pertukaran pengajar dan peneliti dengan perguruan tinggi mereka.

Kelima, dalam upaya meningkatkan minat orang asing untuk mempelajari BIPA juga perlu disediakan perpustakaan yang lengkap tentang Indonesia. Perpustakaan tersebut perlu disediakan di KBRI/kantor perwakilan RI, sekolah Indonesia di luar negeri, atau di Pusat Kebudayaan Indonesia di luar negeri.

Penutup
Berbagai upaya tersebut diharapkan dapat pula memberikan motivasi dan meningkatkan minat orang asing untuk mempelajari bahasa Indonesia. Agar harapan tersebut terpenuhi, berbagai pihak terkait hendaknya memperhatikan secara sungguh-sungguh kondisi pengajaran BIPA di luar negeri dan memberikan fasilitas serta bantuan yang diperlukan.

Dengan fasilitas dan bantuan tersebut diharapkan minat orang asing untuk mempelajari BIPA/studi Indonesia makin meningkat sehingga lembaga penyelenggara pengajaran BIPA/studi Indonesia di luar negeri dapat mengembangkan programnya dalam rangka memperkenalkan dan mempromosikan Indonesia di dunia internasional. Dengan demikian, berkembangnya program tersebut tidak saja dapat menghapus kekhawatiran akan ditutupnya program pengajaran BIPA/studi Indonesia, tetapi dapat pula meningkatkan citra Indonesia di mata dunia.

Jakarta, 12 Juli 2007